Raul’s Circumcision

Awalnya sama sekali ngga terlalu mikirin kapan Raul (4.5 tahun) sunat. Aku berpikir, khitan adalah sesuatu yang besar, dan bisa jadi menyakitkan buat seorang anak. Jadi, aku lebih mikir let it flow, ada masanya dia akan minta sendiri. Apalagi setelah baca baca tulisannya pak guru holistic healing yang bilang bahwa sirkumsisi adalah hal yang traumatis dan merupakan tindakan mutilasi yang harus dihindari di dunia moderen (which is saya tidak setuju ya kalo terkait tuntunan agama yang hikmah dlm bidang kesehatannya pun sudah terbukti, tp saya ambil lesson nya aja, yaitu mengenai minimasi trauma).

Tapi, karena Raul masih ngalamin enuresis, yang setelah diobservasi sepertinya bukan masalah fisik (bukan berhubungan dengan diabetes), sangat mungkin masalah psikologis.. ada insecurity terhadap sesuatu barangkali (tapi tentu kalo psikologis agak sulit dan perlu waktu utk observasi yah),  pakdok memberikan salah satu usulan ini. Khitan. Khitan memang tidak ada hubungan langsung, tapi akan menjadi sebuah momen pembaruan, momen transformasi psikologis seorang anak. So… bismillah, saya mulai sounding ke Raul jauh jauh hari. Saya ingin Raul menuju ke tempatnya khitan dengan bangga dan antusias.

Saya bilang ke Raul gimana kalau Raul disunat nanti saat liburan. Anak laki laki harus disunat, cepat atau lambat. Lalu saya mulai cari cari info mengenai metoda khitan, which was lumayan bikin pusing dan bingung, karena masing masing punya kelemahan dan risiko. Tapi saat itu, saya sedang cenderung pada smart klamp. Saya cari videonya di youtube, dan saya tunjukkan ke Raul. Kami tonton deh video sunat bareng bareng. Saya ngga bakal bilang kalau sunat itu tidak sakit. Saya bilang, nanti dibius, mungkin ada sakit, tapi Raul pasti bisa mengatasi itu. Dan dia pun makin antusias, dan mulai cerita cerita ke orang orang kalau dia mau disunat, dengan gagah berani.

Pilihan kami jatuh ke sebuah klinik sunat yang dinaungi sebuah organisasi terkenal, letaknya di dekat rumah. Nah, saat libur telah tiba, kami ke sana, tanya biaya dan sebagainya. Agak kecewa, karena di sana hanya melayani metoda kauterisasi, sementara metoda ini adalah metoda terakhir yang ingin saya pilih. Tapi, pihak klinik berhasil meyakinkan, bahwa metoda ini aman, cepat, minim rasa sakit, minim darah. Ditunjang dengan berbagai foto sunatan massal, sunatan artis, dan sunatan pejabat termasuk sunatan anaknya dokter. Di temboknya banyak dipajang piagam, sertifikat, macem macem dah. Antriannya punnn bujubuneng… panjang bener. Saya sempat cari cari lagi yang bisa smart klamp ataupun metoda konvensional yang bisa dilakukan segera (karena masa libur yang terbatas, dan saya berharap Raul punya kesempatan utk recovery yang panjang). Di saat merasa harus segera memutuskan, belum ketemu juga. Akhirnya atas pertimbangan dan persetujuan ayahnya juga, bismillah, di klinik itu saja. Toh yang menangani tim dokter juga.

Hari Senin, sebelum ayahnya ngantor, kami datang ke sana habis solat subuh. Alhamdulillah ga ada antrian dan langsung masuk. Dokternya tidak banyak bicara. Ga ada perkenalan ke anak. Langsung nyuruh Raul rebahan di atas kasur. Krn khitan adalah hal yang saya anggap urusan serius dan besarl, saya mulai melakukan proses komunikasi ke Raul. Saya bilang ke Raul, dia akan menjalani proses sunatnya dengan alat yang itu, nanti begini begitu. Raul tanya sakit atau tidak, pake jarum atau tidak, dijahit atau tidak. Setahu saya sih ga dijahit dan ga terlalu sakit, tapi saya tanyakan saja ke dokternya, sebagai bagian dari prosesi komunikasi.

‘Dok, nanti disuntik ngga dok?’

‘Nggak’, jawab dokter

Ngga dijahit juga kan?

‘Nggak’,  jawab dokter

‘Wahh alhamdulillah, tuh kan… Raul pasti bisa. Mungkin akan sakit sedikit, tapi engga apa apa’

Smart klamp nya mana bunda?’, tanya Raul

Ups…. jangan jangan saya kurang mengkomunikasikan kalau dia nggak jadi pakai metoda smart klamp. Haduuuhhh maaf naaak

Sekarang kita mau pakai kauterisasi, Raul. Itu alatnya. Prosesnya lebih cepat. Kalau smart klamp seminggu harus balik lagi *ngeles deh*

‘Tapi Raul mau smart klaaaamp’ , mulai merajuk. Yah yah.. panjang dehh ceramah saya ke Raul. Ayahnya ikut bantu juga.

Setelah itu, dokter mulai mengeluarkan jarum suntik untuk bius. Duh… kaget. Sebenarnya dari awal saya sudah mikir, kalau sunat pasti akan ada jarum untuk bius, dan saya tidak mengharapkan dokter berbohong untuk mengelabui anak. Setelah dokter bilang ga pakai jarum, saya pikir benar benar ga pakai jarum. Langsung buru buru saya koreksi, saya ga mau Raul merasa dibohongi. “Waduh sayang, maaf ya, ternyata ada jarumnya, tapi engga apa apa kok, itu biar ngga sakit”

Langsung di njus deh. Tapi entah kenapa Raul kesakitan. Mungkin berlebihan aja krn takut ada jarum masuk kelamaan.

Setelah itu pelan pelan dokter membuka kulitnya, dan terlihatlah itu kotoran kotoran di balik kulitnya (nahhh inilah hikmah dari khitan sodara sodara, kita ga akan mungkin membersihkan kotoran kotoran di balik kulit ituuuu). Setelah itu dilakukanlah proses pemotongannya dengan kauter. Tapi hikss… Raul nangis kesakitan, I didn’t understand what was going on. Dia bener bener kesakitan, atau karena keburu ketakutan aja.

Pasca pemotongan, dokter tiba tiba… bikin kaget saya sekali lagi dengan mengeluarkan jarum dan benang jahit. SEKALI LAGI saya harus koreksi ke Raul sebelum proses menjahit dimulai, sementara si dokter diem aja gak ngomong apa apa. “Wahhh… bunda pikir ga dijahit sayang, ternyata dijahit. Maaf ya. Tapi engga apa apa kok, kan sudah dibius…”  Tapi lagi lagi Raul nangis membahana. I felt guilty, dan kesel sebenarnya sama dokter. Proses komunikasi tidak berjalan lancar, dan saya nggak suka praktisi khitan tidak melakukan komunikasi jujur untuk pengkondisian. This is a big thing, dan ternyata painful jiwa dan raga. Harusnya kan ada proses hypno khitan kek atau apapun lah sebutannya. Ini anak kecil gitu lho. Jadi sepanjang tangisannya saya Cuma bisa pegang tangannya dan terus berdzikir, sambil agak agak mengutuki diri sendiri, kenapa saya nggak kenalan dulu gitu sama dokternya, kenapa saya terburu buru demi mengejar waktu sebelum liburan selesai. Arrrgghh.. kesal sekali. Atau memang saya aja yang lebay dan sebenarnya semua anak mengalami ini? Tapi ya sudahlah. Yang bisa dilakukan hanya kasih dukungan terbaik sekarang.

2 malam pertama saya nggak bisa tidur, karena Raul ngga bisa tidur. Nyut nyutan katanya. Sakit katanya. It really broke my heart. Saya jg H2C lihat wujud hasilnya. Kok begini, kok begitu, ikut panik. Apalagi Raul meronta ronta dibersihkan pasca pipis, ga mau dibersihkan, karena sakit. Mau ngasih salep juga musti berantem. Hari ketiga sudah ngga keluar darah, tapi emang keluar getah khas luka bakar. So… sebenernya metoda ini, dari segi penyembuhan, tidak lebih baik lah dari konvensional. Waktu penyembuhan kira2 sama. Bedanya, metoda konvensional akan lebih banyak darah, kalau kauter akan lebih banyak getah (haisshhh dipikir pikir sama repotnya). Alhamdulillah kira2 1 minggu sudah ngga protes kalau dibersihkan, dan 2 minggu sudah lepas semua keropeng lukanya. Duh lega banget hasilnya bagus dan sepertinya kemarin kemarin saya terlalu didera ketakutan hasilnya akan ga bagus. Alhamdulillah walopun dokternya nyebelin saat prosesnya, tapi ternyata mau menjawab sms kekhawatiran, bahkan nelepon. Jadi ngga perlu kontrol pasca sunat hehe..

diambil dari alatkhitan.com

diambil dari alatkhitan.com


Gambar di atas adalah gambar celana sunat, dipakai selama penyembuhan. Dokter menyarankan di rumah tidak usah pakai apa apa, supaya kena udara dan mempercepat penyembuhan. Celana ini dipakai saat ke luar rumah saja. Hari kedua pasca khitan, saya memutuskan ngajak Raul pergi belanja ke Carrefour, lumayan lah buat hiburan dia supaya ngga terlalu mikirin nasib mr.P nya, huehehehe. Selama di jalan, happy happy aja tuh. Drama nya dimulai ketika sampe rumah lagi, hihi.

Alhamdulillah, syukur pada Allah, terlepas dari segala proses yang bikin kesal, tentu ada hikmah dan pembelajaran buat kami. He’s a big boy now, dan dengan bangga bilang ke aki nini nya, ‘raul sudah sunat lho!’

2013-01-17 09.20.58Radhika